Ikan Sidat Miliki Potensi, Begini Teknik Budidayanya

Sariagri - Ikan Sidat (Anguilla spp) menjadi salah satu komoditas perikanan yang sangat tinggi diminati. Ketersediaan benih sidat yang melimpah di Indonesia berpotensial untuk dikembangkan. Namun para pembudidaya belum cukup pengetahuan dalam menekuni usaha ini. Berangkat dari permasalahan tersebut, Program Studi Akuakultur PSDKU Universitas Airlangga (Unair) mengadakan kuliah tamu secara daring dengan meengundang General Manager PT. Laju Banyu Semesta (sidat labas), Angga Kurniawan. Mengambil tema Teknologi, Manajemen dan Prospek Budidaya Sidat, Angga Kurniawan mengatakan potensi ikan sidat yang tersedia dalam bentuk glass eel sangat melimpah di Indonesia, namun belum banyak yang bisa memanfaatkan. Hal itu berkaitan dengan keunikan dari ikan sidat yang memiliki sifat beruaya (berpindah) ketika melakukan pemijahan.  “Oleh karena itu, sejauh ini budidaya ikan sidat hanya sebatas proses pembesaran benih tangkapan saja karena belum bisa dipijahkan secara buatan,” ujar GM PT. Laju Banyu Semesta (sidat labas), Angga Kurniawan dalam rilis yang dibagikan kepada Sariagri, Selasa (30/11/2021). Ia melanjutkan, meski ketersediaan benih sidat di alam Indonesia melimpah, namun karena sulitnya proses domestikasi dari benih sidat ini membuat budidaya sidat masih jarang dilakukan. Kegagalan seperti pertumbuhan yang lambat hingga kematian ikan membuat produktivitas petani sidat tidak maksimal. “Karena memang sulit mendomestikasi ikan yang sudah terbiasa hidup di alam terutama dalam hal pakan, kebanyakan petani sidat terkendala dalam membiasakan ikan sidat yang sudah terlanjur terbiasa dengan makanan di alam menjadi mau memakan pakan buatan (pelet),” ungkapnya. Angga menambahkan jika ikan sudah mau memakan pakan buatan maka hal selanjutnya yang perlu disiapkan adalah manajemen pakan dan kualitas air. Ikan sidat memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi (40-60 persen). Oleh karena itu, pemberian pakan harus terukur agar tidak meningkatkan biaya produksi dan merusak kualitas air. “Pakan sidat berbentuk pasta yang diberikan sebanyak 2-5 persen dari biomass dalam satu hari, untuk manajemen air kita menerapkan sistem RAS (Recirculating aquaculture system) menggunakan kolam berdiameter 1,25 – 1,5 m yang dilengkapi silo tank untuk pembuangan kotoran,” paparnya. Selain itu, sambungnya, padat tebar juga harus diperhatikan. Umumnya dengan kolam seukuran 1,25 – 1,5 m bisa menampung glass eel 15 kg atau elver 100 kilogram. Angga juga memberikan tips ketika mendomestikasi ikan sidat lebih baik ketika dalam stadia Glass eel. Hal tersebut dikarenakan stadia glass eel cenderung lebih mudah diadaptasikan terhadap pakan buatan. Kurangnya produktivitas petani sidat kebanyakan karena mereka cenderung menangkap stadia ikan yang mendekati ukuran jual untuk dibudidayakan guna menghemat waktu budidaya. “Hal ini salah, terusnya, karena semakin besar stadia maka akan sulit mendomestikasikannya, dan yang sering terjadi adalah ikan mati atau tidak tumbuh karena stres dan tidak mau makan,” imbuh Angga. Ia berharap, akademisi-akademisi perikanan mampu melahirkan sebuah inovasi untuk membuat ikan sidat bisa memijah secara buatan. Ia juga berpesan terhadap mahasiswa para calon SDM perikanan Indonesia untuk bisa melirik prospek ikan sidat ini mengingat potensinya yang belum termanfaatkan.  “Yang tentunya dengan mempertimbangkan kelestarian alam untuk menjaga keberlanjutannya, jangan sampai kita menjadi seperti Jepang yang produktivitas sidatnya menurun karena over- eksploitasi dan tidak memerhatikan lingkungan,” bebernya Lebih jauh Angga menyampaikan Perjalanan ikan sidat di indonesia sebagai peluang komoditi internasional sejak 2013 hingga sekarang mengalami peningkatan. Baik dari segi produksi hingga pengadaan pakan, dan teknologi penunjang. Hal tersebut dikarenakan benih sidat yang melimpah di alam, sumber daya manusia berlatar belakang perikanan melimpah, pelaku usaha mengharapkan komoditas berprofit tinggi, dan agribisnis perikanan adalah pilihan bangkit di masa pandemi.  “Selain itu, sekitar 6 – 7 jenis ikan sidat sudah dikenal di ekspor-impor internasional, dan gizi ikan sidat lebih tinggi daripada ikan salmon,” jelasnya. Keberadaan ikan sidat, sambung Angga, belum dimanfaatkan secara optimal di beberapa daerah potensial seperti Sumatera, Sulawesi, Ambon, Papua, dan Nusa Tenggara. “Sehingga perlu adanya sosialisasi mengenai pembangunan industri sidat (pelatihan, edukasi, riset, kerjasama produksi) untuk menciptakan perluasan kemampuan dan pengetahuan baik mengenai CBIB dan pengolahan ikan sidat, “ akunya.  Ia pun mencoba berinisiatif untuk melakukan peningkatan teknologi dengan menciptakan e-learning digital information dengan nama Digital Media Sidat Labas. “Media digital sidat labas menyediakan informasi mengenai update info sidat, keilmuan, kemitraan, teknik budidaya dll yang dapat diakses secara gratis, “ kata dia. Pada akhir pemaparannya, Angga berpesan potensi budidaya sidat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur sendiri sangatlah luas. Sehingga peran mahasiswa dalam pengembangan sidat di Banyuwangi dibutuhkan secara maksimal, agar nantinya sidat mengalami peningkatan produksi tiap tahunnya.  “Ikan sidat di Banyuwangi sangat berpotensi untuk dikembangkan dan sangat diperlukan lebih banyak inovasi untuk pengembangan dan profit yang lebih tinggi,” tutupnya. Video terkait:  
http://dlvr.it/SDmVzJ

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama